Cerpen "KILAUAN LANGIT"

KILAUAN LANGIT
Oleh : Ana Megawanti Haryuni
     
     Alunan lembut angin malam yang berhembus pelan, aroma daun bercampur dengan aroma tanah yang khas menjadi teman bagi wanita ini setiap harinya. Hanya dengan melihat kilauan pancaran titik-titik langit bisa membuat hati perempuan ini tenang.
     “Segera masuk Nok, sudah terlalu malam,” kata laki-laki tua yang sambil menjatuhkan pandangannya pada sebuah koran mencari secercah harapan menanti adanya sederet iklan lowongan pekerjaan. Ya, memang tidak dipungkiri sudah kurang lebih tiga tahun belakangan hidup keluarga kecil ini sedikit kurang beruntung.
“Iya Bapak,” sahut wanita ini dengan penuh lembut yang kemudian masuk ke dalam kamar.
***
     Menjelang pagi, wanita ini selalu pergi ke pasar untuk membeli beberapa sayuran. Dan di sanalah, wanita ini sering bertemu dengan pemuda yang baru dua tahun ini dikenalnya, pemuda yang badannya tegap dan berisi sedang menimbang ikan. Ini bukan yang pertama kalinya kedua mata mereka saling bertemu, ada sebuah romansa kebahagian di mata mereka. Ketika pemuda itu melayangkan senyumnya, wanita ini membalas dengan senyuman manis serta tersipu malu terlihat pada pipinya yang kian memerah.
    “Bisa kita bertemu nanti, Idah ?” tanya pemuda dengan suara seraknya. “Ehm, iya.” jawab wanita ini dengan rasa bahagia yang tiba-tiba memenuhi seluruh ruang di hati. “Baiklah, datanglah di bukit belakang rumah sehabis Isya.” Kata pemuda tadi dan wanita tersebut hanya menganggukan kepalanya barangkali terlalu bahagia hingga tidak mampu untuk mengucapkan kata-kata lagi.
     Ketika wanita ini berjalan menuju rumahnya, terdengar suara serak ramai dari dalam rumah. Rupanya ada yang sedang bertamu di rumah. Wanita ini pelan masuk ke dalam rumah, di dalam ruang tamu yang sangat sederhana itu ada empat laki-laki berbadan kekar dan satu laki-laki berkumis memakai topi kulit cokelat serta nampak laki-laki tua tak berdaya duduk di satu kursi yang berpisah.
     “Bapak”, wanita ini menggumam  dalam hatinya ada badai yang sangat dahsyat, rasa khawatir yang sangat luar biasa. Laki-laki berkumis itu adalah lintah darat yang suka bermain wanita, bahkan sudah terhitung istrinya sekarang hampir sepuluh.
      “Nok, maafkan bapak Nok, tidak ada yang bisa bapak lakukan lagi Nok, kehidupan ini semakin mahal, belum lagi tunggakan pajak listrik tiga bulan lalu, jika bapak tidak menerima uang dari si Jukri, mungkin kita besok sudah tidak bisa makan sesendok nasi.” Jelas laki-laki tua itu dengan sabar. “Iya bapak, tapi tidak begini, saya bisa saja bekerja di pasar.” Jawab wanita ini penuh dengan kekecewaan.
“Maafkan bapakmu ini Nok, bapak janji, bapak akan berusaha melunasi uang itu segera.”
“Ya sudahlah bapak, mulai besuk saya akan mencari pekerjaan di pasar.” Kata wanita dengan mata semakin berkaca-kaca dengan keadaannya sekarang.
     Dulu, ya dahulu memang, sebelum mereka pindah ke tempat yang sangat sederhana ini, mereka adalah keluarga yang begitu bahagia dengan semua kecukupannya bahkan lebih dari itu. Pada saat itu, istri laki-laki dan ibu wanita ini berpulang menghadap Illahi. Tidak berapa lama setelah kepergian istrinya, laki-laki sekaligus bapak wanita ini menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda. Mulai sejak itulah laki-laki ini berubah, hingga istri mudanya memanfaatkannya sampai semua harta yang dimilikinya terjual, yang tersisa hanya satu tas pakaian dan segenggam uang di tangan. Semua kekayaan yang telah dibangun dengan beribu-ribu tetes keringat hilang dibawa perempuan muda yang tidak bertanggung jawab itu.Ya, barangkali itu adalah cerita klasik yang sering menjadi akar masalah dalam hidup.
     Hari sudah petang, mentari harus berganti giliran dengan suasana gelap yang akan dihiasi oleh seluruh butir-butir cantik yang terlukis indah di atas langit rumah wanita itu.
Seperti biasanya, wanita ini selalu pergi ke samping rumahnya untuk melihat kilauan pancaran titik-titik bercahaya di langit yang gelap pekat itu. Dengan melihat bintang-bintang di angkasa itu, membuat hatinya menjadi tenang, setelah apa yang baru saja dia alami siang tadi.
     “Ibu, aku merindukanmu,” kata itu terbesit pelan dalam heningnya malam yang semakin mencekam.  Dulu, ibunya yang sering menceritakan kisah-kisah tentang bintang-bintang di langit. Ibunya yang selalu mengajaknya melihat kilauan indah itu di depan rumahnya dulu serta Ibunya yang biasa membuat hatinya menjadi lebih tenang.        Kini dia menjadi teringat akan perkataan Ibunya sewaktu kecil dulu, “Jika kamu sedang sedih, tataplah bintang-bintang itu di langit, maka kamu akan merasa lebih baik. Karena disetiap pancaran bintang-bintang membawa sebuah keindahan dan keelokan dari Sang Maha Pencipta.” Kalimat itu yang selalu menjadi jawaban bagi setiap kegundahannya. Jadi ketika suasana hatinya sedang sedih, dia selalu menatap bintang-bintang di langit, bukan karena bintang itu sendiri, melainkan karena dia selalu ingat akan Ibunya yang membawa kesejukan dalam hatinya.
      Wajah wanita itu terpaku pada salah satu bintang yang bersinar lebih terang dari bintang-bintang yang lainnya. Seketika itu juga dia ingat bahwa dia sudah ada janji akan bertemu dengan laki-laki yang sudah membuat hatinya bedetak secepat langkah kuda di arena balap.
     Wanita ini melangkah terburu-buru menyusuri jalan tapak kecil belakang rumah menuju ke bukit belakang. Sesampainya di bukit itu, lelaki dengan bentuk badan yang sudah dihafalnya menunggu di samping sebuah pohon besar di atas bukit itu.
Pelan-pelan wanita ini mendekatinya. “Maaf menunggu lama,” kata wanita ini.
     “Yah, tidak masalah bagiku. Yang penting kamu sudah di sini sekarang.” Jawab laki-laki itu. “Ada apa ? kenapa kamu ingin menemuiku di sini ?” tanya wanita ini. “Aku ingin kita sering bersama,” kata laki-laki muda, seketika disusul jawaban oleh wanita yang sedang berdiri didepannya. “Tapi untuk sekarang ini, waktunya tidak tepat bagi ku menerima mu, tadi sore ada Pak Jukri datang ke rumah, dan bapak membuat keputusan diluar pemikiranku,” “Apa yang membuatmu risau, jika Jukri adalah aku yang suruh dia ke rumahmu.”        “Apa maksudmu ? Tapi diriku tiada berhak menerima pemberianmu, tiada alasan bagiku membalasnya.” “Apa yang dirimu bicarakan ini tidak akan ada habisnya, Idah. Aku hanya ingin membantu wanita yang selama ini aku sebut dalam do’a malamku. Aku ingin kita saling membantu dan sekarang ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengajukan diri sebagai pendamping mu.” kata laki-laki itu sambil merengkuh tangan wanita itu yang tergulai lemas.
       Mata Idah berkaca-kaca dan bibirnya tak sanggup lagi menyusun kata. “Inikah jawaban dari semua do’a ku, Bu ? Karena kau telah mengirimkan malaikat tak bersayap ini kepadaku, terimakasih banyak ya Allah.” dalam hati. Lalu, keduanya hanyut dalam keindahan malam itu yang tersuguhkan dengan rapi. Dibawah kilauan bintang-bintang malam yang gelap, mereka saling mengikat janji.

***

Komentar