AKU SANGAT MENYAYANGIMU
Hujan kali ini turun dengan sangat deras, hingga setiap kaca di jendela rumahku mengembun oleh titik-titik air, tanpa segelintir petir dan angin, hujan hari ini sungguh sangat tenang, setenang dengan kepergian Ila, teman yang sudah 15 tahun selalu menawarkan bahunya ketika Aku sedang sedih, menawarkan sapu tangannya ketika Aku sedang berlinang air mata, sahabat yang selalu bisa membuat bibir ini kembali tersenyum, sahabat yang begitu baik padaku pergi untuk selamanya dari sisiku. Aku hampir tidak percaya. Apakah ini sebuah mimpi atau hanya sebuah klise belaka. Jika benar ini mimpi aku berharap untuk segera bangun dan menghapus dalam-dalam mimpi itu dari  ingatan ini. Aku merasa kepergiannya kali ini membawa sebuah pesan.
Setelah berdiam diri di dalam kamar, tidak lama kemudian aku turun bersama dengan rasa tidak percaya yang masih menghinggap di kepalaku. Mataku hampir tidak bisa Aku buka karena tetutup besarnya kantung mata yang ku buat akibat air mata yang terus keluar tanpa ku sadari.
“Sini sayang,” kata Mama sambil memelukku dengan penuh kehangatan, Aku pun hanya terdiam dan air mata yang keluar semakin deras, aku tidak sanggup untuk menahannya.
“Terkadang hidup selalu memberikan kejutan, Nak. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, pasti ada hikmah dibalik semua ini. Jangan sedih, nanti kalau sedih Ila juga akan ikut sedih di sana.” Kata Mama yang selalu menjadi cahaya dalam setiap kegelapanku.
Seminggu berlalu Aku masih tidak percaya, aku belum terbiasa dengan keadaanku sekarang ini. Keadaan yang sangat cepat berubah, biasanya ada yang mengimbangi suara tawaku tapi sekarang berubah menjadi hening dan kosong. Aku tak tahu, kenapa ini terjadi begitu cepat. Kepergiannya sungguh membuat Aku terpukul.
Hari ini hari sabtu, Aku akan pergi ke tempat peristirahatannya Ila. Akhirnya Aku sampai pada jarak lima meter dari makam. Seketika kaki ini berhenti menggayunkan langkah, ketika ada seorang anak kecil dengan baju yang sudah kusam, celana yang berlubang dibagian belakang dan samping, duduk di samping makam Ila dengan membawa setangkai bunga kecil. Anak itu hanya diam memandangi makam Ila sambil mengapit setangkai bunga tersebut dikedua tangannya.
Aku masih terdiam ditempatku berdiri dan mulai mengingat, siapa anak kecil yang ada di samping makam tersebut. Tidak lama, rasa penasaran ini membawaku mendekati anak kecil disamping makam itu. Aku duduk disampingnya memperhatikannya memandangi makam itu. Ada kilauan di mata anak itu, ada secercah harapan yang anak itu inginkan dari Ila.
“Cepat sekali Tuhan mengambil kakak yang begitu baik ini dari sisiku,” gumamnya sambil terus memandangi makam.  “Iya cepat sekali,” kataku tanpa sadar keluar dari mulut yang membuat anak itu menyadari keadaanku disampingnya. Anak itu terkejut karena Aku disampingnya. “Hai, kenalkan aku Noa, nama adik siapa ya ?” kataku ingin mengenal anak itu. “Kakak temannya kak Ila ya ? Namaku Nisa kak,” jawab anak itu. “Kenapa adik ada di sini ? Adik kenal dengan Ila ?” “Apakah..”. Pertanyaanku terhenti seketika turun rintik hujan, Aku dan anak itu dengan cepat mencari perlindungan diri dan akhirnya kami menemukan sebuah gubuk sederhana dan hanya ada sebangku kursi panjang di dalamnya. Kami berdua berteduh dari hujan yang semakin deras tersebut.
Aku kembali melayangkan pertanyaanku yang tertunda. “Apakah adik saudaranya Ila ?” pertanyaanku muncul dengan aneh, tapi aku sangat penasaran, kenapa Ila tidak pernah bercerita tentang anak ini. “Bukan kak, aku hanya seorang anak yang ditolong kak Ila, Ibu dan Ayah ku sudah meninggal 4 tahun yang lalu.” Jawabnya “Kakak kenal dengan kak Ila ?” “Ya, kami sudah bersama sekitar 15 tahun lalu, pertemuan pertama kami di sebuah taman kanak-kanak, waktu itu Aku berebut roti dengan Ila lalu kami berdua menangis ketika roti tersebut terbagi menjadi dua, sejak saat itulah kami sering bertemu.” Lalu Aku terdiam tiba-tiba ketika memori itu menghampiriku, “Kakak Ila setiap hari memberiku sebungkus nasi, dia sangat baik, tidak hanya itu dia juga membantuku dan teman-teman menjual koran setiap sorenya, mengajarkan kami sedikit tentang angka dan bahasa...”, cerita anak ini, sampai Aku hanya mendengar sayup-sayup suaranya karena Aku telah terlamun lagi dan membayangkan waktu dimana Ila membantu anak-anak ini dengan tawanya yang renyah.
“Tapi.. aku sering melihat kak Ila kelelahan mengajar kami, lalu dia meminum permen-permen kecil berwarna hijau dari sebuah botol putih yang kak Ila ambil dari tasnya, setelah itu kak Ila kembali tersenyum..”. Sungguh hatiku tergelincir saat mendengar anak ini bercerita pada bagian ini.

Air mataku menetes pelan membasahi pipiku. Aku terpaku seketika itu. Jalan pikiranku berhenti tiba-tiba, hati ini sungguh menangis membayangkannya. Aku teringat akan pengorbanannya pada ku selama ini. Dia sangat peduli padaku dan anak-anak ini, tetapi Aku tidak pernah peduli pada Ila bahkan pada orang lain. Mungkin Aku sering melukainya, tapi tak pernah kulihat kemarahan dan kesedihan pada raut mukanya, hanya senyum yang terlukis pada wajahnya. Sekarang Aku sadar, dia selalu memberi kebahagiaan untuk semua orang, tetapi dia lupa untuk bahagia dengan dirinya sendiri. Aku sangat menyayangimu Ila.

Komentar